PENISTAAN AGAMA KEPADA CALON KEPALA DAERAH
Oponi.
Oleh Hidayat.
PANGKALPINANG – Seiring bergulirnya waktu mendekati hari H pemilihan umum serentak atau pemilihan kepala daerah serentak khususnya pada Pilwako Kota Pangkalpinang.
Semakin tajam berhembus isu yang sangat kejam dan sadis terkait sosok Calon Walikota Pangkalpinang, Bapak Dr. H. Maulan Aklil, S.I.P., M.Si.
Beliau yang lahir dari keluarga muslim taat, mengaku sedih. Padahal di Bangka Belitung sendiri terkenal dengan toleransi beragama.
Ikon toleransi, Masjid Agung Qubah Timah yang dia bangun di tengah titik nol Kota Pangkalpinang bahkan membuktikan dia ingin menyatukan keanekaragaman agama di Kota tercinta ini.
Seperti yang disampaikan oleh Hidayat tokoh masyarakat Kota Pangkalpinang sekaligus pengusaha cabe.
“Saya sangat sayangkan tindakan oknum ini. Menyakiti hati kawan kita yang sesama muslim dan non muslim.
Kita di Bangka Belitung ini terkenal dengan fangin thongin jitjong, kerukunan umat beragama,” tuturnya.
Lebih lanjut, Hidayat juga mengharapkan dalam situasi demokrasi dan kondisi Pilkada tidak membawa isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Karena hal ini sangat mencederai demokrasi di Kota Pangkalpinang yang tercinta ini.
Penistaan agama dalam konteks calon kepala daerah sering kali menjadi isu yang cukup sensitif dan kompleks di Indonesia. Dalam sejumlah kasus politik, tuduhan penistaan agama terhadap calon kepala daerah muncul dan menjadi sorotan publik, khususnya ketika mendekati pemilihan umum.
Hal ini disebabkan oleh peran agama yang sangat penting di Indonesia, sehingga isu agama dapat menjadi alat yang sangat berpengaruh untuk memengaruhi persepsi pemilih terhadap kandidat tertentu.
Berikut beberapa poin penting terkait isu ini:
1. Pengertian Penistaan Agama
Penistaan agama.
Merujuk pada tindakan yang dianggap merendahkan, menghina, atau menginjak-injak ajaran atau simbol-simbol agama tertentu. Di Indonesia, penistaan agama diatur dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur larangan bagi siapapun untuk menyebarkan kebencian atau penghinaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
2. Isu Penistaan Agama dalam Kampanye Politik.
Tuduhan penistaan agama sering kali muncul ketika ada calon kepala daerah yang dianggap kurang menghormati ajaran atau simbol agama tertentu. Misalnya, pernyataan atau tindakan seorang calon yang dianggap melanggar nilai-nilai keagamaan sering dijadikan dasar bagi kelompok tertentu untuk menggiring opini publik agar tidak mendukung calon tersebut.
Dalam beberapa kasus, hal ini bisa digunakan sebagai strategi untuk menjatuhkan lawan politik.
Dalam pemilihan kepala daerah, khususnya jika calon berasal dari kelompok minoritas agama atau memiliki pandangan yang dianggap berbeda, tuduhan penistaan agama Islam bisa muncul sebagai bagian dari kampanye hitam. Tuduhan ini kadang didasarkan pada pernyataan atau tindakan calon yang dianggap tidak selaras dengan ajaran Islam atau dianggap menyinggung sentimen keagamaan masyarakat Muslim.
Misalnya, komentar mengenai ayat Al-Quran, pandangan tentang kebijakan berbasis syariah, atau pernyataan yang menyangkut tradisi Islam sering kali ditafsirkan secara sensitif. Hal ini bisa berujung pada desakan agar kandidat tersebut meminta maaf, bahkan diproses hukum, tergantung pada bagaimana masyarakat Muslim dan otoritas hukum memandang tindakannya.
3. Dampak Sosial dan Politik.
Ketika seorang calon kepala daerah dituduh melakukan penistaan agama, dampak yang muncul tidak hanya berhubungan dengan penegakan hukum, tetapi juga bisa menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat. Dukungan dan penolakan terhadap kandidat tersebut sering kali memecah belah masyarakat berdasarkan latar belakang agama atau pandangan politik. Ini juga bisa berdampak pada stabilitas sosial dan keamanan daerah setempat, khususnya jika isu tersebut dibawa dalam bentuk aksi demonstrasi besar-besaran.
4. Kasus yang Pernah Terjadi.
Salah satu kasus di Bangka Belitung pernah terjadi yaitu pada saat Pilkada Bangka Tengah, Bapak H. Korari Suwondo, SH yang merupakan calon Wakil Bupati Bangka Tengah yang berpasangan dengan Bapak Didit Srigusjaya, SH., MH pernah dituding, dituduh, dan difitnah sudah pindah agama/keyakinan. Pada kenyataannya Beliau tidak pernah berpindah keyakinan. Sungguh sangat kejam isu yang dibuat oleh mereka yang tidak bertanggungjawab dan sampai detik ini beliau masih taat dalam keyakinannya yaitu islam.
5. Upaya Pencegahan dan Regulasi.
Mengingat sensitifnya isu ini, pemerintah dan pihak berwenang telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi penggunaan isu penistaan agama dalam kampanye politik. Salah satunya adalah dengan memperketat pengawasan terhadap kampanye dan ujaran kebencian di media sosial. Selain itu, beberapa organisasi keagamaan dan masyarakat sipil juga turut serta mengedukasi masyarakat agar lebih kritis dan tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu yang mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
6. Pentingnya Literasi Media dan Keberagaman.
Untuk mencegah isu penistaan agama digunakan sebagai alat politik, penting bagi masyarakat memiliki literasi media yang baik, agar tidak mudah termakan berita palsu atau hoaks yang sengaja disebarkan untuk menjatuhkan kandidat tertentu. Pemahaman tentang keberagaman juga penting, karena dalam sebuah negara yang beragam seperti Indonesia, penghormatan terhadap perbedaan agama adalah kunci terciptanya perdamaian dan stabilitas.
7. Kontribusi Media dan Masyarakat serta Ormas dan Tokoh Agama.
Media memiliki peran besar dalam penyebaran informasi terkait isu penistaan agama terhadap calon kepala daerah. Penyampaian informasi yang berimbang dan berbasis fakta sangat dibutuhkan agar masyarakat mendapat gambaran yang jelas dan tidak terprovokasi oleh pemberitaan yang menyudutkan salah satu pihak. Masyarakat juga diharapkan untuk memverifikasi informasi sebelum menarik kesimpulan atau membagikannya kepada orang lain.
Organisasi massa (ormas) Islam dan tokoh agama memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik tentang tuduhan penistaan agama. Dalam kasus-kasus tertentu, dukungan atau penentangan dari ormas Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau organisasi keagamaan lainnya, dapat memperkuat persepsi masyarakat terhadap calon tertentu. Mereka sering kali menjadi penggerak aksi massa atau memberikan fatwa yang menjadi dasar bagi pendukung mereka untuk menuntut tindakan hukum terhadap kandidat yang dituduh melakukan penistaan.
APAKAH SEORANG MUSLIM BERADA DI DALAM GEREJA ATAU TEMPAT PERIBADATAN LAINNYA, SUDAH BISA DIKATAKAN PINDAH AGAMA ?
Tidak, berada dalam gereja tidak otomatis berarti seorang Muslim telah berpindah keyakinan. Dalam Islam, perubahan keyakinan atau murtad adalah keputusan serius yang melibatkan niat dan pengakuan keyakinan secara sadar. Kehadiran fisik seorang Muslim di gereja, misalnya untuk menghadiri acara pernikahan teman non-Muslim, mengikuti kegiatan sosial, atau dalam rangka studi dan dialog antaragama, tidak berarti bahwa ia telah meninggalkan Islam atau mengubah keyakinannya.
Penjelasan Lebih Lanjut:
1. Niat dan Keyakinan dalam Islam.
Dalam Islam, niat (niyyah) adalah aspek penting yang menentukan keabsahan suatu tindakan. Jika seorang Muslim berada di gereja tanpa maksud untuk meninggalkan keyakinan atau mengubah agama, maka kehadirannya tidak ada hubungannya dengan perpindahan agama.
2. Hubungan Sosial dan Dialog Antaragama.
Islam mengakui pentingnya menjalin hubungan baik dengan umat agama lain, terutama dalam konteks sosial, pendidikan, dan kerukunan antarumat beragama. Kehadiran di tempat ibadah agama lain, seperti gereja, bisa menunjukkan rasa hormat terhadap perbedaan dan tidak serta-merta mencerminkan perubahan iman.
3. Kasus-Kasus Khusus dalam Sejarah Islam.
Sepanjang sejarah, banyak Muslim yang melakukan perjalanan atau menghadiri acara-acara yang diadakan di tempat ibadah non-Muslim tanpa diartikan sebagai pengabaian iman mereka. Bahkan, ada ulama atau tokoh Islam yang berdialog di tempat-tempat ibadah agama lain sebagai bagian dari upaya memahami dan menghormati keyakinan lain.
4. Fatwa dan Pandangan Ulama.
Beberapa ulama, termasuk yang di Indonesia, menyatakan bahwa kehadiran di tempat ibadah agama lain selama tidak ada unsur ibadah atau penghormatan khusus terhadap simbol agama lain tidak dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pindah agama. Namun, mereka umumnya menyarankan agar umat Islam berhati-hati dalam menjaga akidah saat berada di tempat ibadah non-Muslim.
Dengan demikian, berada di gereja, baik untuk keperluan sosial, budaya, atau pendidikan, bukan berarti seorang Muslim telah berpindah agama. (2/11/2024)