SUARAMELAYU.CO.ID, PANGKALPINANG — Suasana Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Ruang Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (10/11/2025), mendadak memanas.
Ketua DPRD Babel, Didit Srigusjaya, melontarkan kritik keras terhadap proses rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, yang kini menuai penolakan luas masyarakat, terutama warga Desa Batu Beriga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan.
Didit menuding ada kejanggalan serius dalam prosedur penetapan lokasi kajian proyek PLTN yang diinisiasi oleh PT Thorcon Power Indonesia.
Ia mempertanyakan dasar hukum dan tata ruang wilayah yang digunakan dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah pusat dan pihak perusahaan, yang ternyata tidak pernah melibatkan DPRD Babel sebagai representasi daerah.
“Kalau sudah mengajukan perubahan tata ruang sendiri, berarti kami pemerintah daerah tidak dianggap lagi,” tegas Didit dengan nada tinggi, menatap jajaran eksekutif dan pihak perusahaan yang hadir dalam forum tersebut.
“Ini kan berat. Karena komunitas real itu ada di kita, bukan di pusat,” lanjutnya.
Didit juga menyoroti kejanggalan lokasi survei yang disebutkan pihak perusahaan berada di kawasan Teluk Inggris, Bangka Barat, bukan di Pulau Gelasa, seperti yang selama ini ramai diberitakan.
Menurutnya, inkonsistensi ini memperkuat dugaan bahwa proyek tersebut belum memiliki dasar hukum yang jelas, apalagi belum ada pembahasan atau keputusan bersama dengan DPRD.
“Kok bisa semudah itu memberi MOU tanpa pembahasan dengan DPRD? Kalau begitu, aturan daerah ini di belakang saja?” sindir Didit.
“Ada tahapan-tahapan yang dilanggar. Kalau ruangnya saja belum diproses, bagaimana bisa bicara soal izin?” tambahnya lagi.
Dalam forum yang dihadiri sejumlah pejabat dan perwakilan instansi terkait, Direktur Operasional PT Thorcon Power Indonesia, Dhita Ashari, menjelaskan, bahwa survei lokasi dilakukan berdasarkan rekomendasi Kemenko Maritim dan Investasi (Marves).
Rekomendasi tersebut disebutkan memperbolehkan kajian dilakukan di luar Kepulauan Bangka, dengan syarat lokasi jauh dari permukiman warga.
“Kami mendapat arahan dari Kemenko Marves untuk melakukan survei di luar Kepulauan Bangka. Setelah survei, hasilnya kami sampaikan kembali, dan Kemenko Marves memberikan izin untuk melanjutkan kajian,” ujar Dhita.
“Waktu itu kami juga memeriksa tata ruang wilayah, yang masih zona pariwisata. Jika potensi itu memungkinkan, kami ajukan perubahan tata ruang,” tambahnya.
Namun, penjelasan itu justru memancing reaksi keras dari Ketua DPRD. Didit menilai langkah tersebut sebagai bentuk pelanggaran administrasi karena perubahan tata ruang tidak bisa dilakukan sepihak tanpa mekanisme formal melalui pemerintah daerah dan persetujuan DPRD.
Di sisi lain, perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan Babel juga menegaskan bahwa berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), kawasan perairan sekitar Pulau Kelasa masuk dalam zona pariwisata dan perikanan tangkap, bukan kawasan konservasi atau energi.
“Untuk konservasi ditetapkan di Perlang dan Ketugar. Pulau Gelasa bukan kawasan konservasi,” jelas pejabat dari dinas tersebut.
Pernyataan itu memperkuat dugaan bahwa rencana pembangunan PLTN tersebut belum sesuai dengan tata ruang dan kebijakan daerah yang berlaku.
Di akhir rapat, Didit menegaskan, bahwa DPRD akan membentuk tim kajian khusus bersama eksekutif dan akademisi untuk menelaah seluruh dokumen perizinan, tata ruang, serta aspek lingkungan dari proyek tersebut.
“Kami tidak bermaksud intervensi. Tapi tolong, hentikan dulu semua kegiatan sampai ada kejelasan. Karena kami tahu, gerakan-gerakan sudah mulai,” tutup Didit dengan tegas.
Sementara itu, masyarakat Desa Batu Beriga yang hadir dalam rapat menyuarakan keresahan mereka. Mereka khawatir keberadaan PLTN akan mengancam sumber penghidupan nelayan, serta merusak ekosistem laut di sekitar Pulau Gelasa yang dikenal kaya akan terumbu karang dan ikan tangkap.
Proyek PLTN Pulau Gelasa kini menjadi perbincangan hangat di Bangka Belitung. Masyarakat mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk lebih transparan, dan memastikan bahwa setiap langkah pembangunan dilakukan dengan mengedepankan keselamatan lingkungan serta kepentingan rakyat pesisir.
Dikesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Ahmad Subhan Hafiz, menolak keras rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Small Modular Reactor (SMR) di Pulau Kelasa, Bangka Tengah.
Hafiz menegaskan, penolakan ini didasarkan pada dua faktor utama: risiko ekologi yang tak ternilai dan ketiadaan urgensi energi.
WALHI menyebut Pulau Kelasa sebagai “benteng ekologi terakhir” di pesisir timur Kepulauan Bangka Betung.

Ekspedisi yang dilakukan WALHI menemukan setidaknya empat nilai konservasi tinggi. Salah satunya adalah keberadaan karang purba berdiameter hingga 12 meter di ekosistem bawah laut, menandakan tapak ekologis yang telah terbentuk ribuan tahun.
Ia juga menyoroti lokasi tapak yang diincar PT Thorcon Power Indonesia, yakni Teluk Pisang.
“Tapak itu di Teluk Pisang, dan inilah tempat nelayan sebenarnya. Tidak ada tempat nelayan lain di Pulau Kelasa itu selain Teluk Pisang,” tegas Hafiz.
Ia menambahkan bahwa kawasan tersebut menyumbang hasil laut, terutama sotong, dalam jumlah luar biasa setiap tahunnya.
(Redaksi/JB 007 Babel)









